www.unik77.tk
all about unik 77 : percaya atau tidak, kalau bisa sih unik setuju ?
sumber : http://netsains.com/2009/03/mengapa-seseorang-bisa-menjadi-homoseksual/
Niankhkhnum and Khnumhotep
Menanggapi beberapa pertanyaan rekan-rekan tentang kenapa seseorang bisa menjadi homoseksual, di sini saya akan coba sedikit berbagi informasi tentang etiologi homoseksual (sebab kenapa seseorang menjadi homoseksual). Kebetulan beberapa waktu yang lalu saya melakukan penelitian tentang mengapa seseorang hingga bisa menjadi homoseksual. Hasilnya menunjukkan pembuktian dari beberapa kajian teori yang ada sebelumnya. Banyak faktor yang berpengaruh mengapa seseorang dapat menjadi homoseksual. Secara lebih spesifik mungkin bisa dibilang individual differences, karena masing-masing orang mempunyai etiologi (sebab musabab terjadinya sebuah gangguan) yang berbeda-beda. Jika kita lihat dari dimensi Biologis, homoseksualitas bisa juga dimungkinkan karena adanya kelebihan kromosom seks dari ibu. Kromosom normal pada seorang laki-laki berjumlah 46 buah (23 pasang), 22 pasang kromosom otosom dan sepasang kromosom seks (XY), sedangkan laki-laki yang memiliki kecenderungan homoseksualitas secara hormonal memiliki jumlah kromosom 47 buah, yang terdiri dari 44 buah (22 pasang) otosom dan 3 buah kromosom seks (XXY) hal ini dikarenakan kromosom dari ibu (XX) tidak terjadi pembelahan, sehingga individu laki-laki ini memiliki ciri-ciri kewanitaan. Secara fisik ia laki-laki yang memiliki penis, tetapi penis ini sangatlah kecil jika dibandingkan dengan ukuran penis laki-laki normal, dan jika dianggap sebagai kliteris ukurannya terlalu besar jika dibandingkan kliteris wanita pada umumnya. Ia juga memiliki payudara yang semakin membesar seiring dengan usia pubertasnya (Notosoedirdjo dan Latipun, 2002).
Penulis mempunyai rekan yang seperti ini, hingga akhirnya kini ia operasi kelamin dan telah menjadi seorang perempuan. Anastasi (dalam bukunya pengantar psikologi), secara biologis menjelaskan homoseksual ini terjadi jika bayi laki-laki selama dalam kandungan mensekresi hormon testosteron kurang dari jumlah normalnya, atau jika bayi perempuan (yang kelak menjadi lesbian) mensekresi hormon testosteron (juga) yang melebihi kadar normalnya.
Nah jika kita lihat dari dimensi Psikologis, banyak lagi faktor yang berpengaruh. Mulai dari aliran Psikoanalisa yang mengungkap dimensi masa lalu, dimana anak pada tahap falik (usia 3-5 th) kurang mendapatkan figur yang baik dari orang tua dengan jenis kelamin yang sama. Jika ini terjadi pada laki-laki (untuk perempuan tinggal membalik saja), dalam situasi kehidupan awal seorang anak, figur ibu terlalu dominan dalam keluarga (bisa jadi karena ayah lemah, perceraian sehingga anak laki-laki tinggal dengan ibunya, atau ayah meninggal) sehingga identifikasi anak laki-laki ini cenderung ke arah perempuan. Termasuk pengasuhan oleh ayah terhadap anak laki-lakinya menjadi kurang efektif.
Seorang ahli Psikoanalis yg lain, Carl Gustaf Jung menyebut ini sebagai Anima Animus. Dalam diri seorang laki-laki ada jiwa feminin, begitu sebaiknya dalam jiwa perempuan ada karakter maskulin. Mana yang akan berkembang lebih dominan, ini nanti yang akan dibentuk oleh lingkungan.
Kembali lagi ke figuring dengan ayah, jika anak laki-laki mempunyai persepsi yang buruk ke ayahnya, hal ini bisa jadi sebagai penyebab juga. Misalkan, ayah terlalu keras dalam mendidiknya, menghukumnya, sehingga anak mempunyai penilaian yang negatif ke ayahnya. Ayah terlalu normatif terhadap anak laki-lakinya, misalkan jika makan tidak boleh bersuara, posisi duduk harus seperti ini, minum harus seperti ini, makan harus di meja makan, dsb. Perilaku seperti di atas adalah hal yang biasa diterapkan pada anak perempuan, bukan laki-laki. Hal ini nantinya yang juga akan berpengaruh terhadap perkembangan maskulinnya. Secara psikologis dinamakan inhibisi perkembangan maskulin. Bisa juga ketika orang tua terlalu membatasi ruang gerak anak laki-lakinya, sehingga perkembangannya menjadi maskulin terhambat (inhibisi perkembangan maskulin). Contohnya, karena orang tua sudah bertahun-tahun tidak mempunyai anak atau mendambakan sekali anak laki-laki, maka ketika lahir anak laki-laki ia sangat disayang sekali, tidak boleh berkesplorasi kesana kemari, naik-naik atau memanjat pohon tidak boleh, main berkotor-kototan seperti anak laki-laki yang lain tidak boleh, pokoknya disayang dan dimanja benar, sehingga karakter maskulin yang semestinya mulai berkembang dari kecil jadi terhambat. Termasuk ketika tidak dekat dengan ayah tadi sehingga ia tidak mendapatkan figuring maskulin yang baik. Atau mungkin orang tua yang benar-benar menginginkan anak laki-laki, sehingga ketika lahir perempuan membuat jadi anak perempuannya ini seperti laki-laki (atau sebaliknya, ingin anak perempuan, lahir laki-laki, membuat anak laki-lakinya ini seperti perempuan). Mendandaninya, memakaikan rok. tentu saja yang namanya anak kecil akan menurut saja jika kita apa-apakan.
Saat fase falik tadi (3-5 tahun) yang semestinya ia mulai diberitahu perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, tetapi tidak ia dapatkan. Anak laki-laki dibiarkan saja bermain dengan teman (atau kakak) perempuannya, sehingga ia jadi lebih gemar bermain boneka, masak-masakan, atau permainan perempuan yang lain. Hal ini yang juga disebut inhibisi perkembangan maskulin pada anak laki-laki, sehingga karakter feminin lah yang lebih berkembang. Bukan melarang anak untuk mencoba bereksplorasi dengan banyak mainan dan juga teman, hanya saja orang tua perlu lebih selektif ketika memilihkan jenis permainan yang pas buat anak.
Freud, seorang ahli psikoanalisa berpendapat bahwa pada dasarnya kita ini dilahirkan dalam keadaan biseksual. Oleh karenanya, wajar jika dalam diri seorang laki-laki memiliki karakter feminin, yang tentunya lebih didominasi maskulinitasnya.Pada anak laki-laki yang memeiliki kecenderungan feminin lebih dominan, terkadang menjadi laki-laki yang sensitif, perasa. Saat dewasa, ia akan lebih menggunakan dimensi emosionalnya dalam menentukan pilihan atau mengambil keputusan, dibandingkan menggunakan rasio atau logika layaknya laki-laki pada umumnya. Hal ini terkadang nampak pada perilaku anak saat masih kecil. Anak laki-laki terkadang lebih gemar bermain boneka-bonekaan, masak-masakan, atau permainan perempuan lainnya dengan teman atau kakak perempuannya. Mereka lebih nyaman bermain dengan perempuan dibandingkan main mobil-mobilan atau sepak bola dengan teman laki-lakinya. Beberapa diantara mereka juga mengaku jika teman perempuannya lebih dapat mengerti dan memahami perasaannya, dibandingkan dengan teman laki-lakinya yang terkesan kasar dan awut-awutan. Ketika orang tua mulai melihat indikasi ini di awal, segeralah arahkan permainan mereka pada permainan yang lebih memfasilitasi perkembangan maskulinnya. Tetapi yang perlu diperhatikan betul oleh orang tua adalah jangan terlalu memaksakan anak untuk melakukan hal itu. Misalkan tiba-tiba melarangnya bermain dengan si Ani, atau membakar semua koleksi boneka yang ia punya. Tidak demikian, melainkan memalui pendekatan yang lebih halus. Pelan-pelan ia mulai kita ajak bermain bersama, mengikutkannya pada kegiatan ekstra kulikuler taekwondo misalkan, atau sepak bola mungkin. Tawarkan pada anak, berikan gambaran, dan biarkan ia menentukan pilihannya.
Jika ditinjau dari sudut pandang Behaviour (perilaku), maka homoseksual terjadi karena faktor pembiasaan, lingkungan, dan adanya penguat positif (rasa enak, nikmat, nyaman) dalam hubungan dengan sesama jenisnya. Sehingga masing-masing orang mempunyai riwayat gangguan yang berbeda, ada yang berawal dari Biologis kemudian diperkuat faktor Psikologis, ada juga yang murni faktor Psikologis. Kebanyakan yang murni behavior ini biasanya terjadi pada masa-masa remaja. Entah karena gaya hidup, bujukan teman, atau faktor yang lain. Meskipun demikian, tidak semudah itu seseorang bisa menjadi homoseksual. Biasanya pasti sudah disertai dengan potensi sejak kecil, hanya saja masih manifest (terpendam). Butuh sebuah kejadian atau pencetus untuk memunculkannya. Makanya ada yang pernah bilang jika homoseksual ini ibarat kata membangunkan singa yang sedang tidur.
Jika ada pertanyaan apakah perilaku ini bisa diubah? Bisa tidaknya, kembali kepada sebab musabab mengapa seseorang menjadi homoseksual. Jika murni karena perilaku, pembiasaan dan lingkungan, maka dirubah lewat proses pembalajaran ulang. Secara psikologis kita biasa menyebut modifikasi perilaku. Ada beberapa teknik terapi yang dapat diterapkan.
Namun jika sebabnya karena trauma masa lalu, seperti yang dijelaskan oleh aliran Psikoanalisa yang melihat hal ini dari sudut pandang masa lalu, maka dibutuhkan psikoterapi dengan pendekatan Psikoanalisa. Terapi ini disebut analisa yang dilakukan oleh seorang Analis (ahli terapi psikoanalisa yang telah melalui masa pendidikan dan pelatihan terapi psikoanalisa, termasuk ia sendiri juga telah menjalani terapi ini. Analisa dilakuakn untuk mengungkap konflik-konflik dalam alam bawah sadar seseorang untuk dimunculkan ke permukaan. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah hipnoterapi (hipnotis), hanya saja saya belum pernah membaca seberapa efektif hipnoterapi mampu membantu mereka mengatasi homoseksualnya. Juga beberapa metode lain dalam terapi Psikoanalisa.
Nah jika fenomena terjadinya homoseksual karena Biologis, ya mau tidak mau memang harus memilih ke salah satu ciri kelamin yang lebih dominan. Kalo sudah demikian, kita tidak lagi menyebut sebagai homoseksual, tetapi transeksual.
Memang cukup kompleks ketika kita melihat fenomena ini. Secara Psikologis, homoseksual sudah tidak lagi dimasukkan ke dalam sebuah gangguan, melainkan sebuah pilihan hidup. Hanya saja, norma dan nilai-nilai budaya kita yang belum dapat menerima hal ini, sehingga membuatnya menjadi abnormal. Oleh karenanya, butuh kearifan kita untuk menentukan sikap dan bagaimana harus menghadapi orang-orang dengan homoseksual. Penulis juga berharap, semoga hal ini dapat digunakan sebagai wacana dalam mendidik dan mengasuh anak. Terkadang orang tua secara tidak sadar melakukan hal-hal yang tidak tahunya merupakan potensi yang mengembangkan kecenderungan homoseksual seseorang, mengingat pada dasarnya manusia ini dilahirkan dengan potensi biseksual. Anak-anak tidak mengetahui apa-apa, mereka hanya menerima asuhan dan didikan orang tua. Dalam tahap awal perkembangan mereka mungkin tidak akan segera terdeteksi jika terjadi “salah asuh”. Namun, ketika mereka menginjak masa remaja, mulailah satu persatu masalah timbul. Upaya antisipasi dan persiapan lebih dini diharapkan mampu menyiapkan anak-anak kita kelak menjadi insan yang berguna bagi orang tua, agama, dan lingkungan sekitarnya. Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment