www.unik77.tk
all about unik 77 : percaya atau tidak, kalau bisa sih unik setuju ?
sumber :http://tidakmenarik.wordpress.com/2009/06/13/derita-erick-tri-sudibyo-remaja-pengidap-steven-johnson-syndrome/
Alergi Obat Antikejang yang Bikin Fatal
Sejak kecil, Erick Tri Sudibyo tidak pernah menderita sakit berat. Tapi, tiba-tiba dalam tempo dua minggu tubuhnya berubah mengenaskan. Dokter RSUD dr Soetomo menyatakan remaja 17 tahun itu menderita penyakit langka, Steven Johnson Syndrome (SJS).
SEKARING RATRI-AINUR ROHMAN
—
WAJAH Kotimah sangat kusut. Rambutnya yang tergerai sebahu dibiarkan acak-acakan. Kantong matanya bengkak, matanya sembap dengan lingkaran tipis di sekelilingnya. Dia pandangi anaknya, Erick Tri Sudibyo, yang tergeletak di ranjang kamar perawatan kelas II Bagian Kulit dan Kelamin RSUD dr Soetomo.
”Kok bisa seperti ini anak saya? Apa yang salah dengan dia? Padahal, seumur hidup dia tidak pernah sakit berat,” kata Kotimah, suaranya bergetar, air matanya membasahi pipi.
Rabu (10/6) itu, kondisi Erick memang amat mengenaskan. Bercak merah kehitaman hampir memenuhi seluruh bagian tubuhnya. Kulitnya melepuh. Bahkan, beberapa bagian tubuhnya, tungkai, lengan bawah, daun telinga, dan mata, mengelupas hebat. Sepotong kapas diletakkan di pipinya untuk menutup darah yang menetes.
Bibir dan lubang hidungnya hitam pekat seperti hangus terbakar. Mulutnya terus terbuka, seolah tak bisa dikatupkan lagi. Yang bikin miris, alat kelamin remaja itu juga hancur.
Sebuah infus tertancap di punggung tangannya untuk mencegah agar Erick tidak mengalami dehidrasi. Meski tidak tidur, kelopak matanya terus terpejam. ”Dia masih mendengar ucapan saya. Tapi, tidak mampu menjawab dan melihat,” kata Kotimah.
Di ruang itu hanya Erick yang menjalani perawatan. Di papan pasien, tertulis SJS (Stevens-Johnson Syndrome). Itulah yang diderita Erick. Sebuah penyakit karena alergi obat-obatan, atau virus, atau bakteri. Dua dokter Amerika, Dr Albert Mason Stevens dan Dr Frank Chambliss Johnson, menemukan penyakit itu pada 1922. ”Saya kira dia kena penyakit cacar. Tapi, kok bisa seperti ini?” ujar wanita yang tak mengenal aksara tersebut.
Sudah enam hari Erick tergolek di RS milik Pemprov Jatim itu. Selain seluruh kulit tubuhnya melepuh, darah kental sangat sering keluar dari hidung dan mulut. Hal itu membuat siswa kelas 3 SMP Negeri 2 Laban, Menganti, Gresik, tersebut tidak bisa bernapas. ”Awalnya dia dibantu alat pernapasan. Setelah dua hari, dilepas. Demikian juga slang di mulut untuk memasukkan makanan,” jelas perempuan 37 tahun itu. ”Tapi, Erick hanya bisa makan cairan bubur,” tambahnya.
Minum pun harus disuapi air sesendok demi sesendok. ”Hati saya trenyuh, Mas. Masak mau kencing saja dia harus mengerang kesakitan,” kata Kotimah.
Seorang pria paro baya masuk ruangan. Dia adalah Sunidjan, ayah Erick. Napasnya terengah-engah. Seharian itu, dia harus berkeliling ke rumah RT, kantor Kelurahan Menganti, dan bagian administrasi rumah sakit untuk mengurus kartu jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). ”Untung kartunya dapat. Prosesnya juga tidak sulit,” jelasnya lantas tersenyum kecil.
Namun, matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan. Dia ingat betul kejadian yang menimpa anak ketiganya tersebut. Saat itu April. Erick yang kelas 3 SMP itu getol menambah porsi belajar untuk menghadapi ujian nasional (unas). Sekolah mewajibkan semua siswa kelas 3 mengikuti pelajaran tambahan.
”Sekitar pukul 12.00, istri saya (Kotimah, Red) mendapat kabar dari sekolah bahwa Erick mengalami kejang-kejang hebat. Bahkan sampai pingsan,” ungkap sales perusahaan pecah-belah di Jalan Songojudan tersebut.
Waktu kejadian itu, Sunidjan sedang bekerja. Ditemani dua tetangganya, Kotimah meluncur ke sekolah Erick. Setelah mendapat pertolongan pertama di ruang unit kesehatan sekolah (UKS), Erick siuman. ”Dia mengaku tangannya bergerak sendiri. Katanya rasanya menjalar sampai ke otak seperti kesetrum,” jelas Kotimah menirukan keterangan Erick.
Malamnya, Erick mengalami kejang-kejang lagi. Sunidjan membawanya ke sebuah klinik di Laban. Dokter jaga memberi tiga jenis obat untuk meredakan kejang itu. ”Pertama vitamin, lalu obat penenang, dan satu lagi saya lupa nama obatnya,” kata Sunidjan.
Setelah minum obat, kondisi Erick membaik. Dia bisa belajar dengan tenang menghadapi unas. Namun, setelah seminggu, kejang-kejang itu datang lagi. Bapak 50 tahun tersebut membawa remaja kelahiran Surabaya, 26 Juni 1992, itu ke klinik semula.
Dokter menyatakan Erick mengalami stres tinggi karena tekanan hebat. Untuk mengatasi, dokter memberikan obat penenang untuk anak ketiga di antara empat bersaudara tersebut.
Tapi, obat itu ternyata tak mempan. Atas rekomendasi beberapa temannya, dia membawa Erick ke dokter spesialis saraf yang buka praktik di Jalan Kapasan. Dokter tersebut memberikan Carbamazepine 200 miligram (mg). Obat itu harus diminum sehari dua kali, separo tablet. Sesi pertama, Erick harus menghabiskan sepuluh tablet.
Setelah tujuh hari, Sunidjan membawa anaknya kontrol. Kali ini disertai tes darah lengkap, termasuk tekanan darah. Sunidjan tak tahu persis hasilnya. Yang pasti, dia merasa kondisi Erick jauh mendingan daripada sebelumnya.
Meski begitu, dokter terus memberi obat. Bahkan, porsinya ditambah tiga kali sehari setengah tablet dan harus menghabiskan 25 butir obat. Selama dua minggu selanjutnya Sunidjan tidak berhenti membawa anaknya kontrol.
Pada 5 Juni, ketika menikmati liburan pascaunas, Erick merasakan gejala aneh di wajahnya. Matanya merah menyala dan lengket. Bibirnya amat tebal. Erick sangat kesakitan. Bintik-bintik seperti cacar tiba-tiba bermunculan di seluruh tubuhnya.
Waktu itu pukul 01.00, Sunidjan dan Kotimah membawa Erick ke rumah sakit di Benowo, tak jauh dari rumah keluarga tersebut di Perumahan Menganti Satelit Indah. Dokter memberi tiga obat sekaligus. Yakni, Samol 500, Intermoxil 1.500, dan Dextamine. ”Erick boleh pulang saat itu juga. Kata dokter sudah baikan,” ungkap Sunidjan.
Paginya, Sunidjan mengantarkan bubur ayam yang dibeli dari penjual keliling ke kamar Erick. Dia kaget bukan kepalang. Mulut anaknya itu bentol-bentol, ceplak warna merah kehitaman muncul lagi merata di seluruh tubuh. ”Kali ini sangat parah. Saya membawa Erick ke RKZ (RS Vincentius A Paulo, Red), tapi kehabisan kamar. Lantas menyeberang ke RS William Booth juga kehabisan kamar. Kata dokter, Erick keracunan obat dan harus ditempatkan di kamar khusus. Tapi, ternyata kamarnya habis semua,” papar Sunidjan.
Karena panik, dia membawa Erick kembali ke rumah sakit di Benowo. Di sana, Erick sempat ngamar sehari. Menurut dokter, kondisi Erick sudah sangat parah, dokter rumah sakit itu tidak mampu menangani lagi. Satu-satunya jalan adalah merujuk Erick ke RSUD dr Soetomo.
Di RS itu, Erick ditangani beberapa dokter spesialis. Ada dokter mata, dokter kulit, dokter saraf, hingga dokter telinga, hidung, dan tenggorok (THT). ”Saya sangat berharap dia bisa sembuh. Entah bagaimana caranya,” tegas Kotimah.
Suami-istri itu tidak memedulikan biaya pengobatan anaknya yang sudah mencapai Rp 3,2 juta dalam beberapa hari belakangan. Padahal, honor Sunidjan sebulan hanya Rp 1,5 juta.
Tiba-tiba Erick memanggil ibunya. ”Mama… mama…,” ujarnya setengah mengerang. Kotimah mengusap rambut anaknya pelan-pelan. Erick batuk-batuk kecil. Kotimah meraih selembar sapu tangan dari meja. Tak lama, sapu tangan putih itu berubah merah karena darah yang keluar dari mulut Erick.
Prof Dr Sunarko Martodihardjo SpKK (K) dan dr Iskandar Zulkarnain SpKK (K), supervisor ruangan bagian kulit dan kelamin RSUD dr Soetomo, menyatakan kondisi Erick mulai membaik. ”Selain panas tubuhnya sudah turun, tubuhnya sudah bisa menerima obat yang diberikan,” jelas Sunarko kemarin.
Sebelumnya, tubuh Erick menolak obat tersebut. Itu dibuktikan oleh tes sebelum obat dikonsumsi pasien. ”Sebelum diberikan, kami tes dulu dengan cara disuntikkan di kulit ari. Karena kulitnya tidak lama kemudian memerah, berarti Erick alergi terhadap obat itu. Jadi, kami ganti dengan obat yang cocok,” papar Zulkarnain. Sunarko mengangguk setuju.
Erick memang dipastikan menderita SJS karena alergi obat antikejang Carbamazepine. Namun, lanjut Sunarko, penyakit tersebut bisa berubah menjadi TEN (toxic epidermal necrolysis). Keduanya hampir serupa. Namun, gejala yang ditimbulkan TEN lebih parah. ”Salah satu gejala TEN adalah kulit ari mengelupas,” katanya.
Beberapa bagian tubuh Erick memang mengelupas. Tapi, ”hanya” sekitar sepuluh persen. Karena itu, dokter menetapkan Erick menderita SJS dengan kemungkinan berubah menjadi TEN. ”Kalau pengelupasannya sudah lebih dari sepuluh persen, baru kami tetapkan dia menderita TEN,” lanjut Sunarko.
Namun, dokter akan berupaya sebaik mungkin mempercepat kesembuhan Erick. ”Pokoknya, kami berupaya semaksimal mungkin supaya SJS tersebut tidak berubah menjadi TEN. Karena itu, kondisinya tidak pernah berhenti dipantau,” tegasnya.
Lebih lanjut Sunarko menuturkan, tindakan dokter sebelumnya, yang memberi obat Carbamazepine pada Erick, sudah tepat. ”Sebab, sesuai indikasinya, Erick mengalami kejang-kejang. Karena itu, diberikan obat untuk mengatasi kejang tersebut. Salah satunya ya Carbamazepine,” katanya.
No comments:
Post a Comment