www.unik77.tk
all about unik 77 : percaya atau tidak, kalau bisa sih unik setuju ?
sumber :http://travel.kompas.com/read/xml/2009/04/20/09134523%20/sederajat.dalam.warteg
Cobalah singgah di Warteg Warmo pada Sabtu dini hari atau Minggu dini hari. Jangan kaget kalau warteg ini dipenuhi perempuan berbusana minim, tubuh wangi, tetapi wajah mulai kucel. Maklum, baru kelar dugem. Inilah ciri khas wajah Warmo di setiap dini hari pada akhir pekan.
Siapa yang tak kenal warteg alias warung tegal? Warteg bisa ditemukan di mana saja. Di pinggir jalan, di sekitar kampus, di dekat proyek bangunan, terminal bus, stasiun kereta, area perkantoran, juga di sekitar pusat perbelanjaan mewah. Ciri khas makanannya yang akrab di lidah, enak, cepat, dan murah ini membuat warteg langgeng sejak tahun 1970-an.
Warteg Warmo yang berlokasi di Tebet Raya, Jakarta Selatan, tadi, misalnya, masih bertahan sebagai warteg legendaris yang populer di Jakarta. Popularitasnya membuat siapa pun tak segan mampir makan di Warmo. Mulai dari pejabat, pengusaha kelas kakap, juga kalangan selebriti. Jadi tak heran para ”aktivis” clubbing pun tak risi makan di Warmo seusai dugem hingga subuh. Terlebih, Warmo buka 24 jam.
Warteg—warung nasi yang lahir dari tangan para perantau asal Tegal—memang telah melebur dengan masyarakat Jakarta. Warteg menjadi bilik yang egaliter di mana strata sosial apa pun berdampingan makan di satu kursi kayu panjang tanpa harus jaim (jaga image).
Pada awal 1970-an ketika pembangunan di Jakarta tengah giat dimulai, kebutuhan akan warung nasi pun dimulai. Warung yang menyediakan makanan rumah sederhana dengan jumlah yang banyak tetapi harga tetap terjangkau ini cocok dengan kebutuhan para kuli bangunan. Begitu pula tukang becak hingga pedagang minyak tanah keliling perlu menambah tenaga dengan makan di warteg.
Seiring berjalannya waktu, warteg tidak hanya disambangi oleh kalangan ekonomi sulit. Kalangan dari seluruh strata sosial sudi makan di warteg. Bule pun kerap terlihat makan di warteg. Bahkan, warteg menjadi ”penopang perut” amat penting bagi kelas menengah pekerja kantoran di Jakarta yang butuh makan siang sehari-hari.
Pemilik Warteg Gewart Dago, yang terletak di kawasan Halim, Cililitan, Jakarta Timur, mengaku warungnya sering diketuk orang yang ingin sarapan. ”Sebenarnya warung buka pukul 07.00, tetapi sering sekali pembeli sudah datang pukul 06.00. Mau tidak mau ya dilayani, dia kan butuh sarapan,” kata Ahmad (30), anak Sopiah, pemilik Warteg Gewart Dago. Gewart merupakan singkatan dari Generasi Warung Tegal, sedangkan Dago adalah nama gang tempat mereka pertama kali berjualan di kawasan Halim itu.
Warteg 21 yang terletak di Jalan Tanah Mas Raya, Kayuputih, Pulo Gadung, Jakarta Timur, hanya libur tujuh hari dalam setahun. Mutinah (33), pengelola warteg, mengaku, wartegnya tidak bisa tutup karena pelanggan akan kesulitan mencari tempat makan. ”Di warteg, harga makanan murah. Zaman sekarang, semuanya mahal. Kalau makan tidak di warteg, gaji mana cukup,” kata Mutinah.
Setiap hari Mutinah harus memasak 150 kilogram beras. Pada bulan Ramadhan, jumlah beras yang dimasak juga tetap sama. ”Setiap hari saya belanja keperluan warteg sampai Rp 4,5 juta. Puasa tidak puasa, belanjanya ya sama,” ujarnya.
Tetap hangat
Sejak pagi-pagi buta, mereka sudah berbelanja lalu langsung memasak. Gewart mempekerjakan tujuh orang yang tidak berhenti memasak dari pukul 04.00 hingga 12.00. Warteg 21 mempekerjakan lima orang juru masak.
”Masak tidak boleh berhenti biar masakan yang disajikan tetap hangat. Setelah sore, barulah memasak berdasarkan kebutuhan,” ujar Ahmad.
Makanan yang paling favorit di Warteg Gewart adalah tempe goreng tepung. Setiap hari warteg ini menggoreng 100 hingga 120 lonjor tempe. Selain itu, sate udang goreng juga sangat digemari. ”Setiap hari tak kurang 15 kilogram udang dimasak. Pokoknya saya menyisihkan Rp 4 juta untuk belanja seluruh keperluan warteg,” ungkap Ahmad yang berbelanja kebutuhannya di Pasar Kramat Jati.
Menurut Ahmad, setiap hari dia menyediakan lebih dari 40 macam masakan. Sementara Mutinah mengaku tidak tahu jumlah persis jenis makanan yang dia sediakan. ”Enggak pernah dihitung. Ayam saja ada empat macam, ayam goreng, ayam opor, ayam kecap, dan ayam pedas. Kalau 20 jenis sih lebih,” ujar Mutinah.
Semua jenis makanan ini belum termasuk telur asin dan mentimun yang merupakan ciri khas warteg. Harga yang ditawarkan memang sangat murah. Untuk nasi, sayur, dengan lauk udang dan tempe, Mutinah hanya mengenakan Rp 6.000. Nasi sayur udang dan telur hanya Rp 7.000. Lalu nasi sayur dengan lauk ayam hanya Rp 10.000, sudah termasuk teh tawar hangat.
Sementara di Gewart harga nasi sayur udang hanya Rp 5.000, sedangkan nasi ayam hanya Rp 7.500. Harga ini sudah termasuk teh tawar hangat. ”Murah meriah,” kata Ahmad.
Beragam jenis makanan dan murahnya harga tentu menjadi daya tarik warteg. Orang yang makan di warteg tidak mencari pendingin udara, bangku yang empuk, dan interior yang didesain khusus.
Mereka nyaman makan berdesak-desakan dengan orang tak dikenal di atas bangku kayu panjang. Mereka juga tidak keberatan, setelah selesai makan, hanya punya waktu beberapa menit untuk menurunkan makanan sebelum wajah-wajah kelaparan mengusir mereka.
Baik Mutinah maupun Ahmad mengaku tidak mengetahui secara persis jumlah pengunjung di wartegnya. Yang pasti, baik Ahmad maupun Mutinah harus mempekerjakan 10 orang untuk melayani pembeli.
Namun, jika dihitung secara kasar, jumlah pengunjung bisa diperkirakan. Jika dalam 20 menit rata-rata ada 10 orang makan di warteg, maka dalam sehari sekitar 450 orang makan di warteg.
Doni, penjaga parkir di Warteg Gewart Dago, mengaku rata-rata mendapatkan uang Rp 50.000-Rp 65.000 hanya dari pukul 11.00 sampai 14.30. Dalam sehari, pengaturan parkir dibagi tiga shift. Setiap shift ada dua juru parkir.
Warteg bolehlah disebut pahlawan bagi kaum urban Jakarta, yang bekerja memeras otak dan otot hingga petang. Roda ekonomi negeri pun berputar, dari mana tenaga para pekerja itu? Ya dari warteg....
Siapa yang tak kenal warteg alias warung tegal? Warteg bisa ditemukan di mana saja. Di pinggir jalan, di sekitar kampus, di dekat proyek bangunan, terminal bus, stasiun kereta, area perkantoran, juga di sekitar pusat perbelanjaan mewah. Ciri khas makanannya yang akrab di lidah, enak, cepat, dan murah ini membuat warteg langgeng sejak tahun 1970-an.
Warteg Warmo yang berlokasi di Tebet Raya, Jakarta Selatan, tadi, misalnya, masih bertahan sebagai warteg legendaris yang populer di Jakarta. Popularitasnya membuat siapa pun tak segan mampir makan di Warmo. Mulai dari pejabat, pengusaha kelas kakap, juga kalangan selebriti. Jadi tak heran para ”aktivis” clubbing pun tak risi makan di Warmo seusai dugem hingga subuh. Terlebih, Warmo buka 24 jam.
Warteg—warung nasi yang lahir dari tangan para perantau asal Tegal—memang telah melebur dengan masyarakat Jakarta. Warteg menjadi bilik yang egaliter di mana strata sosial apa pun berdampingan makan di satu kursi kayu panjang tanpa harus jaim (jaga image).
Pada awal 1970-an ketika pembangunan di Jakarta tengah giat dimulai, kebutuhan akan warung nasi pun dimulai. Warung yang menyediakan makanan rumah sederhana dengan jumlah yang banyak tetapi harga tetap terjangkau ini cocok dengan kebutuhan para kuli bangunan. Begitu pula tukang becak hingga pedagang minyak tanah keliling perlu menambah tenaga dengan makan di warteg.
Seiring berjalannya waktu, warteg tidak hanya disambangi oleh kalangan ekonomi sulit. Kalangan dari seluruh strata sosial sudi makan di warteg. Bule pun kerap terlihat makan di warteg. Bahkan, warteg menjadi ”penopang perut” amat penting bagi kelas menengah pekerja kantoran di Jakarta yang butuh makan siang sehari-hari.
Pemilik Warteg Gewart Dago, yang terletak di kawasan Halim, Cililitan, Jakarta Timur, mengaku warungnya sering diketuk orang yang ingin sarapan. ”Sebenarnya warung buka pukul 07.00, tetapi sering sekali pembeli sudah datang pukul 06.00. Mau tidak mau ya dilayani, dia kan butuh sarapan,” kata Ahmad (30), anak Sopiah, pemilik Warteg Gewart Dago. Gewart merupakan singkatan dari Generasi Warung Tegal, sedangkan Dago adalah nama gang tempat mereka pertama kali berjualan di kawasan Halim itu.
Warteg 21 yang terletak di Jalan Tanah Mas Raya, Kayuputih, Pulo Gadung, Jakarta Timur, hanya libur tujuh hari dalam setahun. Mutinah (33), pengelola warteg, mengaku, wartegnya tidak bisa tutup karena pelanggan akan kesulitan mencari tempat makan. ”Di warteg, harga makanan murah. Zaman sekarang, semuanya mahal. Kalau makan tidak di warteg, gaji mana cukup,” kata Mutinah.
Setiap hari Mutinah harus memasak 150 kilogram beras. Pada bulan Ramadhan, jumlah beras yang dimasak juga tetap sama. ”Setiap hari saya belanja keperluan warteg sampai Rp 4,5 juta. Puasa tidak puasa, belanjanya ya sama,” ujarnya.
Tetap hangat
Sejak pagi-pagi buta, mereka sudah berbelanja lalu langsung memasak. Gewart mempekerjakan tujuh orang yang tidak berhenti memasak dari pukul 04.00 hingga 12.00. Warteg 21 mempekerjakan lima orang juru masak.
”Masak tidak boleh berhenti biar masakan yang disajikan tetap hangat. Setelah sore, barulah memasak berdasarkan kebutuhan,” ujar Ahmad.
Makanan yang paling favorit di Warteg Gewart adalah tempe goreng tepung. Setiap hari warteg ini menggoreng 100 hingga 120 lonjor tempe. Selain itu, sate udang goreng juga sangat digemari. ”Setiap hari tak kurang 15 kilogram udang dimasak. Pokoknya saya menyisihkan Rp 4 juta untuk belanja seluruh keperluan warteg,” ungkap Ahmad yang berbelanja kebutuhannya di Pasar Kramat Jati.
Menurut Ahmad, setiap hari dia menyediakan lebih dari 40 macam masakan. Sementara Mutinah mengaku tidak tahu jumlah persis jenis makanan yang dia sediakan. ”Enggak pernah dihitung. Ayam saja ada empat macam, ayam goreng, ayam opor, ayam kecap, dan ayam pedas. Kalau 20 jenis sih lebih,” ujar Mutinah.
Semua jenis makanan ini belum termasuk telur asin dan mentimun yang merupakan ciri khas warteg. Harga yang ditawarkan memang sangat murah. Untuk nasi, sayur, dengan lauk udang dan tempe, Mutinah hanya mengenakan Rp 6.000. Nasi sayur udang dan telur hanya Rp 7.000. Lalu nasi sayur dengan lauk ayam hanya Rp 10.000, sudah termasuk teh tawar hangat.
Sementara di Gewart harga nasi sayur udang hanya Rp 5.000, sedangkan nasi ayam hanya Rp 7.500. Harga ini sudah termasuk teh tawar hangat. ”Murah meriah,” kata Ahmad.
Beragam jenis makanan dan murahnya harga tentu menjadi daya tarik warteg. Orang yang makan di warteg tidak mencari pendingin udara, bangku yang empuk, dan interior yang didesain khusus.
Mereka nyaman makan berdesak-desakan dengan orang tak dikenal di atas bangku kayu panjang. Mereka juga tidak keberatan, setelah selesai makan, hanya punya waktu beberapa menit untuk menurunkan makanan sebelum wajah-wajah kelaparan mengusir mereka.
Baik Mutinah maupun Ahmad mengaku tidak mengetahui secara persis jumlah pengunjung di wartegnya. Yang pasti, baik Ahmad maupun Mutinah harus mempekerjakan 10 orang untuk melayani pembeli.
Namun, jika dihitung secara kasar, jumlah pengunjung bisa diperkirakan. Jika dalam 20 menit rata-rata ada 10 orang makan di warteg, maka dalam sehari sekitar 450 orang makan di warteg.
Doni, penjaga parkir di Warteg Gewart Dago, mengaku rata-rata mendapatkan uang Rp 50.000-Rp 65.000 hanya dari pukul 11.00 sampai 14.30. Dalam sehari, pengaturan parkir dibagi tiga shift. Setiap shift ada dua juru parkir.
Warteg bolehlah disebut pahlawan bagi kaum urban Jakarta, yang bekerja memeras otak dan otot hingga petang. Roda ekonomi negeri pun berputar, dari mana tenaga para pekerja itu? Ya dari warteg....
No comments:
Post a Comment