www.unik77.tk
all about unik 77 : percaya atau tidak, kalau bisa sih unik setuju ?
KUDUS -- Penganut ajaran Samin mengakui agamanya merupakan Agama Adam, yang diwujudkan dalam perilaku kehidupan dengan berpegang pada prinsip dan pantangan hidup dari leluhurnya.
Hal itu terungkap pada acara bedah buku "Samin Kudus bersahaja di tengah asketisme lokal" yang ditulis Moh Rosyid, di Universitas Muria Kudus (UMK), Jateng, Rabu.
"Meskipun agamanya berbeda dari agama yang diakui pemerintah, Pemerintah Kabupaten Kudus tetap menghormatinya dengan mengosongkan kolom agama dalam KTP (kartu tanda penduduk) untuk komunitas Samin," kata pembedah buku, Agus Sisnowo, kandidat master psikologi sosial dari Fakultas Psikologi UMK.
Karena itu, menurut dia, masyarakat lain harus menghormati keberagaman agama yang dianut masyarakat Samin. "Apalagi, masyarakat Samin terkenal dengan kearifan lokalnya," katanya.
Bahkan, pada kata pengantar buku ini dijelaskan komunitas yang bertahan hidup adalah mereka yang paling cepat dalam menyikapi kehidupan dan yang bertahan, dialah yang paling (memiliki) kekuatan. "Dalam konteks Samin Kudus, yang bertahan ternyata merekalah yang paling bersahaja," katanya.
Menurut dia, hal itu menunjukkan masih ada realitas sosial (sekelompok masyarakat) yang bertahan dan bersaing dalam arus zaman yang modern, tetapi tetap mempertahankan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, buku ini juga menjelaskan pergeseran penganut Samin Kudus yang dipetakan menjadi empat tipologi. Di antaranya Samin murni (dlejet), Samin sangkok, Samin amping-amping, dan Samin samiroto. Ia menjelaskan Samin samiroto merupakan Samin yang serba bisa, memudahkan prinsip ingin mengikuti budaya luar Samin.
Pada dasarnya, kata dia, istilah Samin berawal dari berkembangnya ajaran Samin yang dipelopori Kiai Samin Surosentiko (Raden Kohar) yang semula merupakan pujangga Jawa pesisiran pasca Ronggowarsito, yang menyamar sebagai petani untuk menghimpun kekuatan melawan Belanda.
Selanjutnya pada 1890 mengembangkan ajaran Samin di Desa Klopodhuwur, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Setelah jumlah pengikutnya bertambah banyak, pada 1905 melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Namun, pada 1907 Kiai Samin Surosentiko beserta pengikutnya diculik Belanda, kemudian dibuang ke Sawahlunto, Padang, Sumatra Barat, dan wafat pada 1914. - ant/ahi
Hal itu terungkap pada acara bedah buku "Samin Kudus bersahaja di tengah asketisme lokal" yang ditulis Moh Rosyid, di Universitas Muria Kudus (UMK), Jateng, Rabu.
"Meskipun agamanya berbeda dari agama yang diakui pemerintah, Pemerintah Kabupaten Kudus tetap menghormatinya dengan mengosongkan kolom agama dalam KTP (kartu tanda penduduk) untuk komunitas Samin," kata pembedah buku, Agus Sisnowo, kandidat master psikologi sosial dari Fakultas Psikologi UMK.
Karena itu, menurut dia, masyarakat lain harus menghormati keberagaman agama yang dianut masyarakat Samin. "Apalagi, masyarakat Samin terkenal dengan kearifan lokalnya," katanya.
Bahkan, pada kata pengantar buku ini dijelaskan komunitas yang bertahan hidup adalah mereka yang paling cepat dalam menyikapi kehidupan dan yang bertahan, dialah yang paling (memiliki) kekuatan. "Dalam konteks Samin Kudus, yang bertahan ternyata merekalah yang paling bersahaja," katanya.
Menurut dia, hal itu menunjukkan masih ada realitas sosial (sekelompok masyarakat) yang bertahan dan bersaing dalam arus zaman yang modern, tetapi tetap mempertahankan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, buku ini juga menjelaskan pergeseran penganut Samin Kudus yang dipetakan menjadi empat tipologi. Di antaranya Samin murni (dlejet), Samin sangkok, Samin amping-amping, dan Samin samiroto. Ia menjelaskan Samin samiroto merupakan Samin yang serba bisa, memudahkan prinsip ingin mengikuti budaya luar Samin.
Pada dasarnya, kata dia, istilah Samin berawal dari berkembangnya ajaran Samin yang dipelopori Kiai Samin Surosentiko (Raden Kohar) yang semula merupakan pujangga Jawa pesisiran pasca Ronggowarsito, yang menyamar sebagai petani untuk menghimpun kekuatan melawan Belanda.
Selanjutnya pada 1890 mengembangkan ajaran Samin di Desa Klopodhuwur, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Setelah jumlah pengikutnya bertambah banyak, pada 1905 melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Namun, pada 1907 Kiai Samin Surosentiko beserta pengikutnya diculik Belanda, kemudian dibuang ke Sawahlunto, Padang, Sumatra Barat, dan wafat pada 1914. - ant/ahi
No comments:
Post a Comment